BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering
dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit. ”No head injury is so
serious that it should be despaired of, nor so trivial as to be lightly
ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu
dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan
yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta
kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap.
Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma
yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa
diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7%
trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala.
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh
dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000
(Thomas, 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada
laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8
per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma
kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami
trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya
ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat
terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang
lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas,
kekerasan dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki
yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala
terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu,
Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga
2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan.
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995
sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma
kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3%
(1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian
akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 .Bila dilihat
prevalensi penderita trauma kepala cukup besar dan meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini menjadi perhatian khusus
bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat . Supaya lebih meningkatkan
pengetahuan tentang trauma kepala , sehingga bisa memberikan pelayanan yang
lebih baik dan maksimal dibidangnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari trauma kepala?
2. Apa saja klasifikasi dari trauma
kepala?
3. Apa saja etiologi dari trauma
kepala?
4. Bagaimana patofisiologi dari trauma
kepala?
5. Apa saja manifestasi klinis dari
trauma kepala?
6. Komplikasi apa yg dapat terjadi
akibat trauma kepala?
7. Pemeriksaan punujang apa yang
dilakukan pada pasien trauma kepala?
8. Penatalaksanaan apa yang dilakuka n
pada pasien trauma kepala?
C. Tujuan
1.
Memperoleh pengalaman
nyata dalam melaksanakan proses pengkajian dan analisis data pada pasien dengan
Trauma kepala.
2.
Merumuskan diagnosa
keperawatan pada pasien dengan Trauma kepala.
3.
Menetapkan perencanaan terhadap
pasien Trauma kepala.
4.
Memperoleh pengalaman
nyata dalam melaksanakan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan Trauma kepala.
5.
Menyusun dokumentasi
keperawatan terhadap pasien dengan Trauma kepala.
6.
Memperoleh pengalaman
nyata dalam penilaian terhadap pasien dengan Trauma kepala.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA
A.
Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala.
B.
Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
- Minor
SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
- Sedang
SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
- Berat
SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
C.
Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau
sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan
ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.
D.
Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena
lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau
tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya
meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala
“fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan
fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta
kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran
otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar
secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel
pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya.
E.
Manifestasi Klinis
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebungungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran
serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila
fraktur tulang temporal.
F. Komplikasi
Hemorrhagie
Infeksi
Edema
Herniasi
G. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
Rotgen Foto
CT Scan
MRI
H.
Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma
kepala adalah sebagai berikut:
- Observasi 24 jam
- Jika pasien masih muntah
sementara dipuasakan terlebih dahulu.
- Berikan terapi intravena bila
ada indikasi.
- Anak diistirahatkan atau tirah
baring.
- Profilaksis diberikan bila ada
indikasi.
- Pemberian obat-obat untuk
vaskulasisasi.
- Pemberian obat-obat analgetik.
- Pembedahan bila ada indikasi.
I.
Rencana Pemulangan
- Jelaskan tentang kondisi anak
yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
- Ajarkan orang tua untuk
mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya
berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
- Jelaskan tentang maksud dan
tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
- Ajarkan orang tua untuk
menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan
jalan nafas selama kejang.
- Jelaskan dan ajarkan bagaimana
memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan
kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila
anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
- Ajarkan bagaimana untuk
mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
- Tekankan pentingnya kontrol
ulang sesuai dengan jadwal.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1.
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2.
Pemeriksaan fisik
a.
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b.
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c.
Sistem saraf :
Kesadaran
GCS.
Fungsi saraf kranial
trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi
saraf kranial.
Fungsi sensori-motor
adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi,
hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d.
Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan
pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g.
Psikososial
data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
- Resiko tidak efektifnya
bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan
gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
- Perubahan perfusi jaringan
serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan
intrakranial.
- Kurangnya perawatan diri
berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
- Resiko kurangnya volume cairan
berhubungan mual dan muntah.
- Resiko injuri berhubungan
dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
- Nyeri berhubungan dengan trauma
kepala.
- Resiko infeksi berhubungan
dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
- Kecemasan orang tua-anak berhubungan
dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
- Resiko gangguan integritas
kulit berhubungan dengan immobilisasi.
C. Intervensi
Keperawatan
1.
Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan
nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas,
jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada
cedera vertebra.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret
segera lakukan pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15 – 30 derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.
- Perubahan perfusi jaringan
serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat
yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi
kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau
suction, perkusi).
tekanan pada vena leher.
pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena
leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota
badan, fleksi (harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic,
hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai
program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat
meningkatkan edema serebral.
Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan
nutrisi.
Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
3.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak
terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan
penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada
iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan
pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan
BAB.
Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
4.
Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda
kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa
lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau
mata cekung dan out put urine.
Berikan cairan intra vena sesuai program.
5.
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap
nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan
kejang.
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
Berikan analgetik sesuai program.
6.
Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang
ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas
normal.
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya,
serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
Kurangi rangsangan.
Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
7.
Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi
yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam
batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit
kepala, demam, muntah dan kenjang.
8.
Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan
menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang
tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan
anak.
Intervensi:
Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan
tujuannya.
Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.
9.
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda
gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi:
Lakukan latihan pergerakan (ROM).
Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
Kaji area kulit: adanya lecet.
Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan
lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya
elastisistas untuk membatasi trauma kepala bila terbentur benda tumpul
2. Adanya fenomena yang meningkat setiap tahunnya untuk angka
kejadian trauma kepala.
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang
kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan
trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera
percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema
serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma
kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain
itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar
yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala
adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien
dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring,
jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk
pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.
B. Saran
1.
Untuk mahasiswa diharapkan supaya lebih
bekerja sama dalam pembuatan makalah asuhan keperawatan Trauma Kapitis.
2.
Mahasiswa diharapkan supaya lebih aktip meningkatkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan dalam bidang keperawatan khususnya Asuhan Keperawatan Trauma
Kapitis.
3.
Untuk dosen supaya lebih banyak lagi memberikan pengetahuan tentang Gawat
Darurat .
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar